Cerita Rakyat Sukabumi : Caweni, Si Perempuan Suci Penunggu Curug (Modifikasi Asal-usul Curug Caweni)
Hai kawan semua, pada tulisan kali ini gue mau nge-remake sebuah cerita rakyat sukabumi tentang asal usul curug Caweni yang ada di Jampang. Well, cerita yang beredar dimasyarakat adalah bahwa di curug Caweni terdapat satu batu menyerupai tubuh perempuan. Konon katanya perempuan itu adalah seorang janda (Caweni=janda yang masih perawan).
Jadi dahulu kala, di sana pernah ada perempuan yang menikah sampai 99 kali. Hampir semua suaminya tewas ketika malam pertama. Hanya ada satu laki-laki yang selamat karena punya kesaktian. Laki-laki itu bernama Boros kaso. Kabarnya ketika malam pertama, Boros Kaso enggak tidur, ia penasaran dengan perempuan yang dinikahinya itu, kenapa sampe semua laki-laki yang menikahinya tewas ketika malam pertama. Dia menyaksikan ketika malam hari, keluar makhluk mengerikan berkepala ular yang keluar dari lubang kencing istrinya. Dengan kesaktian yang dipunyai Boros Kaso, ia berhasil mengambil dan mengeluarkan makhluk mengerikan itu.Paginya, Janda itu senang sekali karena terbangun dengan menyaksikan suaminya masih hidup. tapi, sang suami enggak lama langsung pamit mau buang si makhluk mengerikan itu sambil mengembara. Caweni sedih, suaminya pergi. Berhari-hari ia menunggu suaminya pulang di air terjun. Nahas, suaminya tidak pernah kembali. Penantian itu berakhir sampai dia mati berdiri dan jasadnya berubah menjadi patung tepat dibawah air terjun itu.
Tanpa bermaksud untuk tidak menghargai cerita rakyat yang sudah ada, gue bermaksud nge-remake cerita itu menjadi lebih logis dan bisa dijadikan teladan di masa mendatang. Toh pada akhirnya kan ceritanya tetep Cerita Rakyat (gue kan rakyat juga) hehe.
FYI gue bikin tulisan ini enggak sendiri. Ada banyak temen-temen penulis yang tergabung dalam Kelas Menulis Perpustakaan Batch 2, Kab. Sukabumi. Yang melakukan hal yang serupa tapi dengan Cerita Rakyat yang berbeda. Tujuan kita sama, selain ingin mengangkat Cerita Rakyat dan memajukan pariwisatanya, kita sama-sama ingin bikin cerita yang lebih logis dan bisa memberikan teladan untuk generasi di masa mendatang. Do'akan kita ya. Semoga kita bisa memberikan yang terbaik.
Please, gue ini penulis pemula kok. Gue punya banyak kekurangan, yuk koreksi gue. Kasih kritik dan saran membangun. Bantu gue membetulkan kesalahan gue jikalau tulisan gue ini nantinya justru malah menimbulkan kemudhorotan.
Please, gue ini penulis pemula kok. Gue punya banyak kekurangan, yuk koreksi gue. Kasih kritik dan saran membangun. Bantu gue membetulkan kesalahan gue jikalau tulisan gue ini nantinya justru malah menimbulkan kemudhorotan.
Baiklah... Sebelum lanjut, boleh dong gue ingetin Ada baiknya pembaca budiman untuk menyiapkan camilan dan minuman ringan. Untuk apa? Untuk apa cinta tanpa pengorbanan? Eh. Bukan. Maksud gue untuk apa camilam dan minuman? Ya, minimal pas pembaca budiman membaca postingan ini, warung tetangga deket rumah kalian kebagian rezekinya lah.
Terus lagi yang belum menunaikan kewajiban, tunaikan dulu deh tuh, andai kata kalian baca pas waktu isya, shalat isya dulu deh, andai kata kalian baca pas punya hutang, lunasi dulu deh hutang nya. Okeee? Kalau sudah. Yuk kita mulai baca ceritanya.
Caweni, Si Perempuan Suci Penunggu Curug
Cidolog, masih dalam wilayah Kerajaan Padjajaran. Beranda langit malam itu kedatangan bulan dengan banyak bintang sebagai pengawalnya. Awan-awan hitam yang biasanya bermain di sana, diusir lah oleh bulan dan bintang itu. Awan-awan hitam pergi, beranda langit malam hari di Cidolog pun menjadi lebih ramai.
Di bawah langit, pasukan dingin datang menyengat. Berpatroli di kedalaman hutan yang luas dan rindang. Bukit-bukit sedang berbaris menyambut bintang. Turut serta, ada juga sungai dan Curug. Duduk manis menyambut kedatangan bulan dan pengawalnya.
Oh ya, ada lagi yang ikut menyambut bulan dan bintang. Ialah sebuah gubuk yang masih menyalakan lilin sebagai penerang malam.
Tiba-tiba….
“Oaa oaaaa, oaaaa” Tangisan bayi terdengar, asal suaranya dari gubuk yang menyala itu.
“Alhamdulillah Pak, Bu, bayinya perempuan” sahut Ma Beurang.
“Wah… “ Bu Minah tersenyum sejenak, “alhamdulillah Pak, bayi kita sudah lahir” ucap bu Minah kepada suaminya.
“Wah…” Pak Abdul ikut tersenyum sejenak,“lucu ya Bu… anak kita perempuan” seru Pak Abdul.
Suami-istri itu sangat berbahagia karena Allah karuniakan mereka bayi yang lucu untuk menemani kehidupan mereka ke depannya. Masya Allah tabarokalloh
“Anaknya mau diberi nama siapa Bu?” tanya Ma Beurang.
“Kita kasih nama Siti saja Bu, Bapak sudah istikhoroh” Pak Abdul menjawab.
Langit malam itu berubah menjadi hangat, sosok bayi lucu sehat dan cantik itu pun disambut bulan, bintang dan teman-temannya. Tangisan Siti seperti jam weker. Membangunkan hewan dan tumbuhan yang sebelumnya sudah tertidur pulas.
Allohu akbar Allohu Akbar, Allohu Akbar Allohu akbar, Ashadu Allaa Illa Ha illallah.....
Siti kecil diperdengarkan suara adzan oleh Pak Abdul, setelah lanutunan “lafadz Laa illa ha illalah,” tiba-tiba tangisannya berhenti. Siti kecil Seolah menikmati setiap kalimat indah panggilan Illahi yang masuk lewat telinga kanan dan kirinya. Tangannya Siti meronta, kakinya menendang-nendang, Siti kecil terlihat bahagia.
”Nak, Bapak ingin kamu jadi perempuan yang sholehah, sabar, ikhlas dan tawakal, Kamu jangan pernah ninggalin solat ya, karena solat itu tiangnya Agama, dan amalan yang pertama kali bakal Allah tanya, kamu juga jangan pernah memperlihatkan aurat sembarangan ya, karena membukanya sama saja membawa Bapak ke neraka. Kamu nanti belajar ngaji ya, biar ngerti Agama, biar nanti jadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak. Satu lagi nak, Bapak sama Ibu sayang sama kamu. Muuuach”
“Siti, punten, ambilkan kayu bakar yang di teras rumah ya, Ibu mau masak” ujar Bu Minah meminta tolong Siti.
“Oh iya Bu, sebentar, segera Siti bawakan, tunggu ya Bu” Jawab Siti dengan lembutnya .
Sejurus kemudian, Siti beranjak ke teras sesuai permintaan Ibunya. Siti berhasil mengangkat seikat tumpukan kayu berukuran besar dengan selendang lantas membawa kayu itu ke dapur seperti permintaan Ibunda tercinta.
17 tahun berlalu, bayi kecil nan lucu itu kini tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik juga berakhlak baik. Tak pernah sekali pun Siti membantah perintah atau menolak permintaan kedua Orang tuanya.
“Bu ini kayunya, Ibu mau masak apakah? Boleh Siti bantu?” tanya Siti.
“Oh iya boleh nak, sebentar lagi kan Bapakmu pulang, kita masak ikan untuk Beliau ya” jawab Bu Minah.
Siti melepaskan selendang yang mengikat kayu di pangkuan, Bersama senyum manis di wajahnya lalu disodorkanlah secara perlahan kayu itu ke Ibunda. Yang dilakukan Siti merupakan suatu adab yang tinggi dari anak kepada orang tua, khususnya seorang Ibu. Gumpalan asap keluar dari bilik rumah Bu Minah. Tanda bahwa rumah itu sedang memasak sesuatu.
Siti kecil kini sudah beranjak dewasa, sudah mengerti hakikatnya sebagai perempuan itu seperti apa. Banyak waktu ia habiskan di rumah dengan membantu Ibunda tercinta. Sesekali di ajak Pak Abdul jalan-jalan mengelilingi dusun, naik turun bukit, bermain di curug dan memancing ikan di sungai.
“Assalamu’alaikum ..” Terdengar sahutan salam di balik pintu
“Wa’alaikumussalam, tunggu sebentar ya” balas Bu Minah.
“Nak, sepertinya ada tamu di depan. lanjutkan goreng ikannya ya, hati-hati jangan sampai gosong” pinta Bu Minah “Ibu akan ke depan melihatnya”
“Beres Bu, goreng ikan doang mah kecil, pokoknya serahkan ke Siti” ujar Siti sambil membuka senyum.
Bu Minah beranjak dari dapur. Sambil merapikan samping sarung dan kerudung yang dipakainya, Bu Minah berjalan menuju pintu untuk menemui tamu.
“Sebentar…” sambil membuka pintu
“Eh ternyata Bapak, hayuk masuk Pak, ibu kira siapa, itu Ibu sama Siti sudah masakin ikan buat kita makan” ajak Bu Minah kepada tamu yang ternyata adalah Pak Abdul, suaminya.
“Ayo dimakan Pak, ini Siti yang buat loh” bujuk Bu Minah.
“Waah…” Wajah Pak Abdul tersenyum senang “senangnya Bapak, pulang mengembara sudah disiapkan makanan sama Siti, makasih ya Nak, Bapak sayang Siti”
“Sama-sama Pak, Siti juga Sayang Bapak” ucap Siti.
“Ya sudah, ayo kita berdo’a sebelum makan ya” ajak Pak Abdul memberi teladan
“Bismillahirrohmanirrohim, Allohumma bariklana fii maa rozaktana wakina adza bannar”
Setelah membersihkan tangan dan berdo’a, Bu Minah, Pak Abdul dan Siti pun makan dengan lahap. Perlahan tapi pasti, dimulai dari memakan makanan yang ada di pinggir piring, lanjut ke tengah. Semua yang disediakan di atas piring, habis tidak tersisa. Mereka tahu kalau ada makanan tersisa, bisa-bisa jadi mubazir dan berdosa.
Pagi itu Langit di Cidolog cerah seperti biasanya, burung-burung bernyanyi, pohon mengiring saling melambaikan rantingnya. Beberapa wujud awan terbang malu-malu karena sedang dilihat Fajar.
Tok tok tok
“Assalamu’alaikum..” sahut seorang pria bertubuh besar, di belakangnya ada pemuda yang sebaya dengan Siti.
“Wa’alaikumussalam, mangga silakan masuk”
Pagi itu keluarga Pak Abdul kedatangan tamu tak terduga.
Tamu dipersilakan masuk. Siti membantu Ibunda mempersiapkan jamuan. Bapaknya menemani dan berbincang-bincang dengan tamu. Setelah lama berbincang-bincang, diketahui ternyata pria bertubuh besar itu punya maksud ingin menikahkan Siti dengan Pemuda yang dibawanya.
Menurut kebiasaan di Cidolog, jika ada seorang laki-laki datang melamar seorang perempuan, keluarga perempuan akan selalu merundingkan nya terlebih dahulu dengan si perempuan, supaya pernikahan berlangsung atas dasar kerelaan, bukan keterpaksaan. Pak Abdul dan Bu Minah pun berunding dengan Siti.
Perundingan itu menghasilkan sebuah keputusan bahwa Siti telah menerima lamaran si Pemuda. Lalu disampaikanlah oleh Pak Abdul keputusan itu kepada mereka. Tidak menunggu waktu lama, Akad nikah pun dilakukan lusa supaya tidak terjadi fitnah.
Keesokan harinya….
Bau amis darah tercium segar, berasal dari kambing dan ayam yang sengaja disembelih untuk menjamu calon besan. Rumah Siti mulai ramai didatangi tetangga sekitar. Ada yang datang sekedar ingin tahu, ada juga yang datang membantu menyiapkan pernikahan yang akan dilangsungkan esok hari.
Tiba-tiba…
“Bu, Bu, kok mau sih si Siti dinikahkan sama orang gajelas? mending sama si Dirman tuh, orangnya kaya, anak kepala dusun, turunan Kerajaan Pajajaran pula” cetus Ceu Edoh ke Bu Minah.
“Kalau saya jadi Bu Minah, saya enggak akan mau deh nerima pinangan gajelas itu” Ceu Edoh melanjutkan ketusnya.
Oh ya… Ceu Edoh adalah tetangganya Bu Minah. Di Cidolog, Ceu Edoh memang terkenal dengan sikapnya suka mengomentari hidup orang lain, suka mencampuri urusan orang lain. Padahal hidup sendiri saja belum benar, urusan sendiri saja masih harus diperbaiki. Tapi ya begitulah Ceu Edoh suka membuat orang kesal.
“Hoalah Bu, enggak apa-apa. Kita sebagai muslim kan sudah diberi contoh oleh Rosul. Apabila datang kepada kita seseorang yang bagus agamanya hendak melamar anak kita, maka terimalah, kalau enggak maka akan terjadi fitnah. gitu kan Ceu?” Bu Minah mengelak tudingan Ceu Edoh.
“Halah! hari gini tuh ya kita harus bisa ngaturnya. Harus dilihat ke depan, masa depan Siti nantinya gimana? Jangan biarkan masa depan Siti jadi suram loh Bu!” seru Ceu Edoh dengan nada tinggi.
“Masa depan itu sudah Allah jamin kok Bu, selama kita ta’at, menjanlankan perintahnya, menjauhi larangan-Nya, dan selalu berusaha berbuat baik terhadap semua urusan. Allah pasti jamin kelayakan hidup kita kok Ceu” Bu Minah mengingatkan dengan lembut.
“Ah sudah! Sudah! susah kalau ngomong sama orang gak ngerti kayak Bu Minah. Saya pamit, assalamu’alaikum” pamit Ceu edoh dengan ketusnya.
“Wa’alaikumussalam.” jawab Bu Minah.
“Ada siapa Bu, kok kayak ribut-ribut?” datang Pak Abdul.
“Itu ada Ceu Edoh mampir Pak” jawab Bu Minah
“Ceu Edoh kenapa? Kok Bapak denger tadi agak keras ya Ceu Edoh bicaranya. Sebenernya ada apa ya Bu?” tanya Pak Abdul keheranan.
“Enggak apa-apa kok Pak, sudah yuk kita ke dalam, Sambil menyiapkan untuk besok”
Hari yang ditunggu pun tiba, akhirnya Siti menikah, Siti dan keluarga terlihat berbahagia. Di tengah suasana bahagaia itu tiba-tiba datang sekelompok orang berpakaian prajurit perang. Mengaku sebagai utusan dari Kerajaan Padjajaran. Salah seorang dari mereka maju ke depan dan membacakan sebuah pengumuman.
“Saudara-saudara, warga Padjajaran, karena keadaan penting dan genting, bersama utusan ini, saya Raja Padjajaran memerintahkan kepada setiap warga. wajib mengirimkan satu orang laki-laki untuk membantu kerajaan Padjadjaran di medan perang.”
Begitulah kira-kira ucapan utusan kerajaan itu. Seketika membuat kaget orang-orang yang datang mengadiri pernihakan Siti. Pernikahan yang seharusnya berlangsung indah itu seketika berubah. Panik, cemas, dan takut jelas terlihat dari raut wajah para warga yang hadir.
Tak berselang lama, sore harinya para pria warga Cidolog berkumpul di sepetak lahan dekat curug. letaknya lumayan jauh dari tempat warga bermukim. Mereka sedang menyiapkan perbekalan dan merapikan persenjataan. Bapak dan suami Siti termasuk di antaranya.
Rupanya Siti mengintip cemas dibalik semak-semak tak jauh dari curug.
Berharap Bapak dan Suaminya tidak jadi pergi. Apa daya takdir sudah tertulis. Di bawah pohon dan semak dekat curug itu, Siti menyaksikan Bapak dan Suaminya pergi. ternyata Di sanalah Siti melihat Bapak dan Suaminya untuk terakhir kalinya.
Kabar meninggalnya pasukan Padjadjaran yang kebanyakan berasal dari warga Cidolog berhembus ke telinga Siti dan Bu Minah. Padahal selama beberapa bulan ini keduanya giat merapikan sepetak lahan sekitar Curug untuk menyambut kedatangan suami mereka untuk dijadikan tempat singgah yang nyaman.
Sedih bukan main keduanya mendapatkan kabar itu dari utusan Padjajaran. Siti pingsan berkali-kali karena tak mampu menerima kenyataan bahwa Bapak dan Suaminya telah tiada.
“Nak, sudah ya, kita jangan bersedih lagi hakikatnya setiap yang bernyawa itu pasti mati. Kita tinggal menunggu waktu saja” ucap Bu Minah menenangkan. Siti hanya mengangguk. Tubuhnya lemas dan jatuh di pelukan Sang Ibu.
Beberapa bulan kemudian, Siti kembali mendapatkan lamaran dari seorang pemuda, kali ini adalah seorang pedagang yang sengaja mengambil rute melewati kampung tempat Siti tinggal. Pemuda itu mendapatkan kabar bahwa di Cidolog ada seorang perempuan yang cantik wajah dan akhlaknya, taat beribadah, sering bersedekah, selalu membantu orang tuanya tanpa membantah.
Lamaran itu kembali diterima, akad segera di adakan untuk menghindari fitnah. Tapi tidak lama setelah pernikahan itu, utusan kerajaan kembali datang meminta pasukan.
Apa mau dikata, Siti terpaksa menerimanya. kalau urusan kerajaan siti tidak bisa menolak walaupun sangat khawatir. Dengan sabar Siti menunggu suaminya pulang, dirapikan lagi sepetak lahan dekat curug itu, Siti membuatkan surau dan tempat istirahat dengan bahan se adanya, bersama Bu Minah, Siti berjuang membangun area itu untuk menyambut suaminya.
“Mudah-mudahan suami Siti pulang dengan selamat ya Bu” do’a Siti
“Aamiin, Ibu juga berharap seperti itu” Bu Minah mengamini.
Pengumuman Pengumuman! Pasukan Padjadjaran sudah dikalahkan, Pasukan Padjajaran sudah dikalahkan, semua tentaranya meninggal tidak ada yang selamat. Ucap salah seorang pembawa kabar
Siti tak kuasa menahan tangisnya, pingsan berkali-kali karena tak bisa menerima kenyataan. Lagi-lagi hati Siti remuk, ayah dan kedua seuaminya pergi begitu cepat sebelum mereka bisa berbahagia dan membangun sebuah keluarga.
“Sudah nak, sudahi ratapanmu itu, ingat kata firman Allah, setiap yang bernapas pasti akan mati, kita tinggal menunggu waktu saja. Tapi sebelum itu terjadi, ayok kita bangkit dan melanjutkan hidup” ucap Bu Minah kembali menenangkan.
Genderang perang antara Kerajaan Padjajaran dan Kerajaan Banten masih terjadi kala itu. Tak bisa di elakkan, seringnya pasukan Padjadjaran mengalami kekalahan.
Hari berlalu, setelah masa idahnya, Siti kembali dilamar seorang pemuda bernama Boros Kaso. ia adalah seorang santri yang sedang melakukan pengembaraan. mendengar kabar kecantikan akhlak dan wajah Siti, santri itu lantas mendatangi tempat tinggal Siti. Berniat menjadikan Siti menjadi istrinya. Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Siti pun menerima lamarannya. Siti dan Baros melangsungkan akad saat itu juga untuk menghindari fitnah.
Surau yang dibangun di area curug itu diperbesar. Suaminya membuka pengajian untuk anak-anak yang ditinggal bapaknya mati di medan perang. Keseharian mereka kini lebih berkah, mengajarkan ilmu agama. Setelah sekian lama, utusan Padjajaran kembali datang. Suaminya adalah laki-laki yang tersisa di Cidolog, dan ia harus pergi. Siti tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis.
“Kenapa ya Allah, kenapa terjadi lagi!?” bisik Siti ke langit dengan sedihnya.
Sebelum berpisah, Boros Kaso berjanji akan pulang dengan selamat, dan meminta Siti melanjutkan pengajian seperti biasanya.
“Batu curug itu mirip sekali dengan Siti, Saya pasti mengingat daerah ini. Saya akan kembali dengan selamat. Tunggu Saya sambil mengajarkan mereka ilmu Agama” ucap Boros Kaso.
Siti melepas kepergian suaminya dengan salam, berhari-hari berlalu. Dengan kecemasan dan kekhawatiran yang tak bisa di usir, Siti terus menunggu. Sambil melaksanakan amanat suaminya untuk tetap melaksanakan pengajian di dekat curug itu.
Hari terus berganti, bulan juga ikut berganti. perasaan di hati suci Siti masih mempercayai bahwa suaminya akan menepati janji. Pulang dengan selamat. Dan melanjutkan hidup bersama membangun rumah tangga yang sakinnah mawa’dah dan warrohmah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar!” teriak Boros Kaso penuh semangat ketika sebelum akhirnya berhadapan langsung dengan pasukan Banten.
“Hei tungggu dulu! Apa yang kau ucapkan barusan? Sepertinya kita bersaudara” ucap salah seorang pasukan Banten.
“Ya, Saya seorang muslim, terpaksa mengikuti perintah kerajaan Padjaran”
“Ah begitu ternyata, ya sudah, sebaiknya kamu pulang. Ini bukan perangmu.”
Akhirnya pada suatu hari, Boros Kaso memenuhi janjinya. Pulang dengan selamat. pasukan Banten yang menjadi musuh pasukan Padjajaran mendengar ucapan allahu akbar dari Boros Kaso ketika berperang dan mempersilakan Boros Kaso untuk pulang.
Siti dan Boros Kaso melanjutkan pengajian di sekitar area curug itu dengan bahagia.
Siti yang belum memiliki anak dari Suami manapun. Makannya banyak warga menyebut Siti dengan panggilan Caweni (perempuan yang sudah nikah, namun masih suci). Begitu pun curug yang menjadi perjuangan Siti. Disebutlah curug dengan sebutan Curug Caweni.
Sekian Gue Ibrahim Dutinov.
Gue Penulis, bukan teroris.
Gue Penulis, bukan teroris.