Ustad dan Udin I Hujan Pertama
Langit biru kedatangan tamu, wujudnya hitam bergerak cepat. Buru-buru. Dibawanya gumpalan air dan gelembung angin berskala besar. Datang bergerombol, tak beraturan, saling bersenggolan, saling bertabrakan. Duaaaar!!! suara halilintar
“Tadz… kayaknya bentar lagi hujan, cari tempat berteduh yuk.” ajak Udin sambil mensejajari langkah Ustad Ahmad.
“Iya Din, hayuk, Tuh di depan ada pos ronda” Ustad Ahmad menyetujui.
“Siap tadz..”
Keduanya bergegas menuju pos ronda pinggir jalan, atapnya terbuat dari genteng mantili (nama genteng khas Banyuwangi) membuat ketukan khas. Tidak bising seperti seng atau genteng pelastik.
Masya Allah… Tabarokalloh. hujan pertama datang setelah sekian lama tanah menjadi sangat kering dan berdebu, Alhamdulillah ini adalah anugerah. Ustadz dan Udin menyaksikan betapa banyak tumbuhan kegirangan dengan kedatangan berkah ini. Betapa rindunya tanah dengan pijatan-pijatan mesra Allah lewat butir-butiran hujan. Masya Allah . “Allohuma shoyyiban nafi’an - Ya Allah jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat”
“Din?” tanya Ustad memecah lamunan Udin.
“Astaghfirulloh tad, Maaf” Udin kaget
“Kenapa melamun kamu Din?”
“Gppa kok Tad” udin mengelak tetapi tidak dengan wajahnya.
“Hoalaah Din, kalau ada hujan tuh kita banyakin do’a loh, bukan ngelamun… sini bicara sama Ustad, wajah kamu tuh gak pandai boong”
Bulir-buli anugerah itu masih bermesraan dengan penduduk bumi, bersalaman dengan genting, berpelukan dengan pakaian yang lupa diangkat majikannya. Sesekali petir datang mengacau, membuat bayi yang tertidur pulas terbangun dan menangis. Duhai pemilik hujan… “Allohuma hhoyyiban nafi’an - Ya Allah jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat”
“Udin bingung tad, cari jodoh kok susah ya”
hari ke 22 ngodop
nyoba Genre Cerpen
nyoba Genre Cerpen
paragraf terakhirnya maknyus
Hehehe. Hehehehe