Review Film Bumi Manusia


Ya! gue tau sekarang tahun 2020. Bumi Manusia tayang tahun 2019, tepatnya pada 15 Agustus  2019. Tapi gapapa dong review-nya baru bikin. Wkwk. Toh yang klik pasti belum nonton kan? Hehe.  Film yang disutradarai oleh Mas Hanung Bramantyo ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama Karya Pramoedya Ananta Toer.

For your information nih temen-temen. Pak Pram ini merupakan penulis produktif yang pernah dipunyai Indonesia. Namun meski begitu, karya-karyanya pernah dilarang terbit di Indonesia oleh rezim yang berkuasa pada waktu itu. Dan beliau pernah juga dipenjara karena sempat disangka berafiliasi dengan PKI. Meski begitu, Bumi Manusia ternyata mendapat banyak minat dihati penggemarnya. 

Film yang diperkirakan berhasil mendapatkan 52.7 M (bruto) ini berkisah tentang dua anak manusia yang meramu cinta di atas pentas pergelutan tanah kolonial awal abad 20. Inilah kisah Minke dan Annelies. Cinta yang hadir di hati Minke untuk Annelies, membuatnya mengalami pergulatan batin tak berkesudahan. Dia, pemuda pribumi, Jawa totok. Sementara Annelies, gadis Indo Belanda anak seorang Nyai. Bapak Minke yang baru saja diangkat jadi Bupati, tak pernah setuju Minke dekat dengan keluarga Nyai, sebab posisi Nyai di masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan. (Wikipedia)

Yang gue suka dari film jni adalah gue bisa ngebayangin latar indonesia di zaman dulu, zaman di mana kita pernah menjadi budak di negeri sendiri. Gue tau film ini genrenya fiksi yang dilatari oleh sejarah. Jadi bisa dipastikan bahwa semua adegan yang ada tidak nyata namun menyesuaikan dengan kejadian kala itu. Tapi nih ya fiksi bukan sekedar fiksi, tak ubahnya cerita-cerita yang penulis lain buat. Kisah fiksi ini seperti nyata dan terjadi di zaman itu. Karena jelas pasti penulis mengadakan riset terlebih dahulu, belum lagi riset yang dilakukan oleh sutradara filmnya.

Mendapati kenyataan bahwa dahulu pernah ada ketidakadilan hukum diantara pribumi dan non pribumi, film ini memberikan contoh terhadap hukum yang tumpul bahwa hukum seperti itu harus di Lawan. Gue jadi greget, asli ternyata kejadian seperti itu masih ada sampai sekarang. Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Iya gak sih? Iya dong.

Di film ini, kita akan melihat bagaimana rakyat pribumi bersatu melawan ketidak adilan yang tampak nyata. Di film ini juga kita bakal ngerti bahwa pendidikan itu sangat penting, berniaga memang penting, bekerja juga penting, akan tetapi mempunyai pendidikan, akan membuat kita mudah diperintah, tapi susah dijajah. Nah kalau masih tetep mudah dijajah, berarti?

Kalau baca review yang lain, temen-temen mungkin bakal nemu kata kecewa sama Ikbal Ramadhan yang jadi pemeran minke, kalau gue enggak. Enggak sama sekali, gue suka gayanya. Dan gue rasa dia emang cocok jadi pemeran itu (Bentar, ada adegan dewasa deng yang enggak gue suka). Kalau gak percaya, tonton gih.

Melihat film ini juga sebetulnya bikin jiwa nulis gue jadi bangkit. Adegan ketika minke harus menulis sebuah berita penting untuk menjatuhkan citra ketidak adilan hukum saat itu. Ya, tulisan bisa menjadi senjata yang kuat untuk menusuk lawan, speaker yang lantang untuk menggalang masa.

Bukan reivew namanya kalau gue gak nyantumin hal yang menurut gue masih kurang bagus, ya. Menurut gue, film ini kurang bagus jika ditonton oleh anak-anak. Atau anak yang beranjak jadi pemuda, namun masih labil gitu pendiriannya, harus ditemani orang dewasa. Karena terdapat adegan yang seolah benar padahal salah. Seolah wajar padahal kurang ajar. 

Buat temen-temen yang bukan anak-anak seperti kategori di atas, kalau mau nonton, boleh mampir ke aplikasi netflix ya. 


Sekian review singkatnya. Makasih
Next Post Previous Post
2 Comments
  • Sulaeman Daud
    Sulaeman Daud 3 Juli 2020 pukul 05.49

    Pengen filmnya bang. Di tulisan ini yang membuat saya penasaran adalah kalimat "tonton gih." ada kalimat sensor yang menarik soal adegan dewasa hihihi

    • Ibrahim Dutinov
      Ibrahim Dutinov 3 Juli 2020 pukul 05.53

      Ekkekke... Sedooot Gan..

Add Comment
comment url