Danu, Dona dan Deni
Golok itu sudah tumpul, jangankan menebas pohon, memotong sebilah bambu saja harus bersusah payah hingga keluar banyak keringat. Baru lah terpotong. Padahal bahannya bagus, besi yang digunakan kuat, tidak berkarat. Tapi ya itu, bagian besi yang seharusnya tajam, tumpul karena tidak diasah.
Danu memegangi kepalanya, rambutnya acak-acakan. Saat ini ia sedang pusing-pusingnya, naskah yang seharusnya disetor tepat jam 12 malam ini, masih tak kunjung ia selesaikan. Entah apa yang sedang merasukinya, sesekali ia menarik-narik rambutnya. Jadi ya gitu, acak-acakan deh.
Jarum kecil di dinding itu menunjuk ke angka 10, yang panjangnya baru saja sampai di angka 12. jam 7 tepat! Jam dinding di kamar Danu seolah menertawakannya, andai saja jam bisa bicara, mungkin dia akan bilang “Wooooi, cepetan, waktunya mepet woooy!” sambil teriak, diikuti tawa jahat. “Hahahaha” setelahnya.
Sebetulnya dia punya banyak waktu selain hari ini. Tapi entah apa yang merasuki Danu, ia memilih untuk menghabiskan waktu dengan PUBG dan Mobile Legend ketimbang harus menari di atas papan ketik. Hahaha. Lagi-lagi jam dinding itu menertawakan. Jarum panjangnya menunjukan angka 6. jam 10.30 malam!
Apa yang dilakukan Danu, berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Dona, kembarannya. Tugas-tugas dari kelas menulis, ia jalani dengan sungguh-sungguh. Meski keduanya dipaksa masuk oleh Deni ayah mereka. Dona melakukannya dengan baik, Dona berpikir inilah waktu yang tepat untuk menjadi anak yang bisa bermanfaat untuk orangtua.
Deni, ayah Dona dan Danu adalah seorang Jurnalis Idealis. Seringnya menghabiskan waktu dengan menulis. Berkutat dengan buku catatan, alat perekam suara, gawai dan alat lain penunjang pekerjaannya. Berita-berita yang dicarid dan disuguhkan oleh Deni adalah berita pilihannya sendiri. Ia tidak seperti jurnalis lain yang mencari dan membuat berita karena perintah atasan. Deni tidak begitu, ia sering berdebat dengan atasannya. Atasannya terpaksa mengalah, karena tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh Deni sangat banyak pembaca. Perusahaan akan rugi kalau kehilangan Deni.
Membaca buku dan melakukan riset adalah kewajiban bagi Deni sebelum menuliskan apa pun. Sehari tanpa buku bacaan merupakan dosa besar baginya. Tulisan tanpa riset, jelas akan dianggap sampah. Tidak bermutu. Itu prinsip Deni.
Bagaimana kelanjutan kisah Danu?