Jas Merah Pangeran Diponegoro

Pernah dengar Kalimat Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah? Atau biasa disingkat Jas Merah? Kalimat ini ternyata judul pidato oleh Kesatuan Aksi 66 untuk Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1966.

Jas Merah Pangeran Diponegoro


Pada kesempatan kali ini, ingin hati menulis artikel yang berhubungan dengan kemerdekaan. Secara kita sudah memasuki bulan Agustus. Bulan di mana Indonesia menyatakan kemerdekaannya, bulan di mana selalu diperingati dengan kemeriahan, dan bulan di mana warna merah dan putih mendominasi assesori di berbagai sudut wilayah Indonesia.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengisi bulan kemerdekaan. Selain mengikuti rangkaian perlombaan kemerdekaan, kita juga bisa mengisinya dengan mengenang kembali para pahlawan yang pernah sama-sama menentang penjajahan, menjadikannya teladan bagi perjuangan kita di masa sekarang ini. 

Salah satu kegiatan yang  bisa dilakukan adalah membaca kembali tulisan yang membahas sejarah panjang bangsa ini, mengenal tokoh-tokoh beserta perjuangannya dalam melawan penjajahan. Baik yang awal merintis, melanjutkan semangat juang, sampai yang mempertahankan kemerdekaan. Sampai kita bisa benar-benar menjadikan kisah mereka menjadi semangat untuk berjuang dalam hal apapun.

Meneladani Pangeran Diponegoro


Salah satu tokoh yang awal dalam perjuangan melawan penjajah adalah Pangeran Diponegoro. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil, termasuk tujuan Pangeran berperang melawan penjajah. Tahu gak? mungkin saja tujuannya berbeda dengan buku sejarah yang pernah temen-temen baca. Karena ditulis oleh utusan dari pihak Hindia Belanda.

Jauh sebelum Nusantara berubah menjadi Indonesia, dan para pahlawan membebaskan tanah nusantara dari penjajah, Pangeran Diponegoro telah berusaha mengusir penjajah ketika awal dimulainya kegiatan penjajahan oleh Hindia Belanda di Pulau Jawa.

Pada jurnal Islamia-Republika, edisi 15 Oktober 2009, dimuat sebuah artikel menarik berjudul ”DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK SYARIAT”. Artikel itu ditulis oleh Ir. Arif Wibowo,  peserta Program Kader Ulama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surakarta. 

Artikel itu membuka kembali wacana penting dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia, bahwa Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi, Pengeran Diponegoro adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius agama Islam, dan kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah. Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur, tegaknya Islam di Tanah Jawa.
          
Berikut ini kita sajikan secara utuh tulisan yang menarik tentang Diponegoro tersebut:

Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
          
Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.
            
Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29).
             
Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda.  Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa” (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

Perang Besar


Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang anti kolonial. Beberapa sebab itu antara lain:

1. Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 
2. Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 
3. Kekurangadilan di masyarakat Jawa
4. Aneka intrik di istana, 
5. Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar,
6. Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja,  tetapi juga untuk
kepentingan penjajah Belanda.
            
Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan
yang lebih filosofis yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”
             
Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi”(Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu,(2002)).
              
Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
              
Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.

Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.

Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jubahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia.  Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830, menulis: “Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan”

Tulisan Tentang Sejarah


Beberapa bulan kebelakang, nama pangeran Diponegoro menjadi perhatian saya. Karena salah satu penulis sekaligus ustadz yang saya kagumi menuliskan kisah Pangeran Diponegoro dalam bentuk novel (judulnya Sang Pangeran dan Jannisary Terakhir). Yap. Namanya Ust Salim A Fillah. Beliau mencari data sampai ke Turki dan Belanda. Mewawancarai tokoh yang berkaitan dengan Pangeran sampai jauh-jauh ke negeri orang lain. Luar biasa bukan?

Dari tulisan-tulisan beliau, saya jadi lebih tertarik dengan dunia menulis sejarah. Pernah denger nggak pernyataan "sejarah itu hanya untuk yang menang." nah, pernyataan ini sepertinya memang nyata. Terbukti kan, beberapa literasi dari negeri sana malah ada yang bilang kalau Pangeran Diponegoro yang Islami banget itu pernah minum alkohol. Kan serem, menyesatkan. Untung masih ada penulis yang mau bener-bener ungkap fakta lewat penelitian dan wawancara. Walaupun pasti biayanya gak mahal tuh.

Hal itu juga memacu semangat saya untuk terus menebar kebaikan dalam menulis. Syukur-syukur saya ikut andil dalam mencerdaskan bangsa dan membuat orang menjadi baik setelah membaca tulisan saya (aamiiiinin walaupun belum banyak nulis. Hehe)

Dr Adian Husaini dalam situs insight.com, pernah nulis gini ketika membahas tentang sejarah Pangeran Diponegoro.

Pelajaran sejarah sangat penting diberikan dengan mengungkap fakta dan perspektif yang benar untuk membentuk persepsi dan sikap hidup. Ketekunan, keikhlasan, kezuhudan, dan semangat jihad Pangeran Diponegoro seharusnya dipaparkan dengan benar kepada anak didik sehingga mereka tergerak untuk mengambil hikmah dan meneladani sang pahlawan Islam tersebut.

Pangeran Diponegoro Pahlawan Islam

Jelas bahwa Islam mengutuk segala ketidak adilan. ajaran Islam yang diterima oleh Pangeran Diponegoro membawanya berhasil menjadi seorang yang membuat Hindia Belanda kewalahan.

Lauhul Fatihah untuk Pangeran Diponegoro.

Next Post Previous Post
4 Comments
  • muhammad syaifuddin
    muhammad syaifuddin 8 Agustus 2020 pukul 02.17

    Pangeran diponegoro membawa 2 nasab besar ..

    Nasab kerajaan majapahit lewat raden bondan kejawen & prabu brawijaya 5.. ditambah nasab rasulullah lewat perantara walisongo....

    • Ibrahim Dutinov
      Ibrahim Dutinov 8 Agustus 2020 pukul 07.43

      Masya Allah... Jadi dari dulu Ulama sekaligus Umara muslim emang peduli banget kan sama ketidak adilan.

  • Sulaeman Daud
    Sulaeman Daud 8 Agustus 2020 pukul 07.57

    Mantappp sebuah tulisan untuk membuka bulan agustus

    • Ibrahim Dutinov
      Ibrahim Dutinov 8 Agustus 2020 pukul 13.49

      Iye Kang. Belajar nulis lagi nih. Hehe

Add Comment
comment url